Contoh Makalah Contek-Mencotek di Kalangan Remaja

Bab 1
Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Ujian Akhir Nasional, dalam beberapa tahun terakhir selalu menjadi topik menarik menjelang pertengahan tahun / pergantian tahun ajaran. Setiap tahun selalu terjadi perubahan kebijakan dan standar nilai yang menjadi patokan akan lulus atau tidaknya seorang pelajar. Dan di setiap tahun pula peraturan-peraturan ini selalu menjadi pertentangan yang tergolong kontradiktif. Why? Yuk, kita liat pandangan fie tentang UAN dan kenapa banyak sekali kasus dimana para kalangan remaja melakukan contek-mencotek. Seringkali kita mendengar tentang solidaritas remaja yang kadang kala disalahartikan atau mungkin juga ini adalah dampak dari pergeseran nilai sosial sehingga para remaja sekarang mengartikan bahwa sikap solider itu adalah bagaimana kita membantu teman, baik itu dalam hal positif maupun negatif. Sikap solidaritas remaja dibagi menjadi dua hal, yaitu solidaritas yang positif dan solidaritas negatif, jika solidaritas ditanggapi secara positif oleh remaja sekarang maka dampaknya akan baik sekali untuk perkembangan kehidupan sosial mereka di masa yang akan datang. Tetapi jika sikap solidaritas ini sudah menyimpang dari arti yang sebenarnya inilah yang membuat sikap solidaritas itu sendiri menjadi negatif. Melihat fenomena ini kita juga sering melihat para siswa di sekolah misalnya pada saat ujian berlangsung mereka membantu temannya dengan cara memberikan jawaban dengan alasan bahwa itu merupakan sikap solider. Biasanya kalau kita tidak kasih jawaban sama temen yang Tanya kita dibilang pelit, tidak solider, padahal kita juga serba salah, gimana ya kalau gini kan artinya kita udah berbuat curang,
Bab II
Perilaku Menyontek Sebagai Sikap Menghadapi Ujian
1. Pengertian dan pembentukan sikap
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Sikap adalah “ perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pendirian Sikap yang dalam Bahasa Inggris disebut Attitude adalah segala suatu yang bereaksi terhadap suatu perangsang.
Dalam arti sempit sikap adalah pandangan atau kecenderungan mental. Menurut Bruno (1987), sikap (Attitude) adalah kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang. Sedangkan menurut Sherif ( 1956) mengartikan sikap dengan sejenis motif sosiogonis yang di peroleh melalui proses belajar. atau kemampuan internal yang berperan sekali mengambil tindakan, lebih – lebih bila terbuka berbagai kemungkinan untuk bertindak dan bersedia beberapa alternatif. Sikap juga suatu individu-individu yang tidak hanya mempunyai gambaran mengenai objek dan subjek disekelilingnya, yang mempunyai perasaan terutama berkaitan erat dengan kebutuhan yang di miliki tiap-tiap individu.
Sikap pada aspek afektif merupakan aspek yang menentukan seseorang bertindak, karena kemauan atau kerelaan bertindaklah yang menentukan seseorang berbuat sesuai dengan sikap yang dimilikinya. Namun demikian aspek yang yang lainnya ikut mempengaruhinya.
Sikap dapat didefinisikan sebagai kesiapan sesorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal – hal tertentu Adapun pembentukan dan perubahan sikap dapat dilakukan melalui empat macam cara :
a Adopsi, yaitu kejadian – kejadian atau peristiwa yang terjadi berulang – ulang dan terus menerus lama kelamaan secara bertahap diserap ke dalam diri individu dan mempengaruhi pembentukan sikap.
b. Diferensiasi, yaitu dengan perkembangan intelegensi, bertambahnya pengalaman sejalan bertambahnya usia, maka ada hal yang tadinya dianggap sejenis, kemudian dipandang tersendiri lepas dari jenisnya.
c. Integrasi, yaitu pembentukan sikap, disini secara bertahap dimulai dari berbagai pengalaman yang berhubungan dengan suatu hal tertentu sehingga akhirnya berbentuk sikap mengenai hal tersebut.
d. Trauma, yaitu pengalaman yang tiba – tiba, mengejutkan, meninggalkan kesan mendalam pada jiwa orang yang bersangkutan. Pengalaman yang traumatis dapat juga terbentuknya sikap.
Pembentukan sikap tidak terjadi demikian saja, melainkan melalui proses tertentu, melalui kontak sosial terus menerus antara individu dan individu dan orang di sekitarnya.
2. Pengertian Menyontek Dalam Pelaksanaan Ujian
Menyontek memiliki arti yang beraneka macam, akan tetapi biasanya dihubungkan dengan kehidupan sekolah, khususnya bila ada ulangan dan ujian. Biasanya usaha menyontek dimulai pada waktu ulangan dan ujian akan berakhir, namun demikian tidak jarang usaha tersebut telah dimulai sejak ujian dimulai.
Walaupun kata menyontek telah dikenal, sejak lama namun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata tersebut tidak dapat ditemukan secara langsung, kata menyontek baru ditemukan pada kata jiplak menjiplak yaitu mencontoh atau meniru ( tulisan pekerjaan orang lain ).
Dalam Kamus Modern Bahasa Indonesia istilah menyontek memiliki pengertian yang hampir sama yaitu “ Tiru hasil pekerjaan orang lain”. Maka dapat disimpulkan menyontek dalam pelaksanaan ujian adalah mengambil jawaban soal – soal ujian dari cara – cara yang tidak dibenarkan dalam tata tertib ujian seperti : dari buku, catatan, hasil pemikiran temannya dan media lain yang kemudian disalin pada lembar jawaban ujian pada saat ujian berlangsung.


Faktor – faktor Penyebab siswa menyontek saat melaksanakan ujian dan ulangan antara lain adalah :
a. Tekanan yang terlalu besar yang diberikan kepada “hasil studi” berupa angka dan nilai yang diperoleh siswa dalam test formatif atau sumatif
b. Pendidikan moral baik di rumah maupun di sekolah kurang diterapkan dalam kehidupan siswa
c. Sikap malas yang terukir dalam diri siswa sehingga ketinggalan dalam menguasai mata pelajaran dan kurang bertanggung jawab
d. Anak remaja lebih sering menyontek dari pada anak SD, karena masa remaja bagi mereka penting sekali memiliki banyak teman dan populer di kalangan teman- teman sekelasnya
e. Kurang mengerti arti dari pendidikan
Dari beberapa faktor penyebab di atas, dapat dikatakan siswa memiliki masalah di sekolah dan konsep diri yang rendah. Maka sebagai guru agama berkewajiban memberikan motivasi siswa yang menyontek saat ujian dan ulangan dengan membiasakan bersikap jujur dalam setiap perbuatan yang dilakukan siswanya dan membangkitkan konsep percaya diri dan berusaha diri yang lebih baik.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam setiap kegiatan secara maksimal guru agama Islam dalam memahami masalah siswa, menurut Muhaimin dan Abd. Mujib adalah sebagai berikut:
1. Siswa bukanlah miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri sehingga metode belajar mengajar tidak boleh disamakan denagan orang dewasa.
2. Siswa mengikuti periode- periode perkembangan tertentu dan mempunyai pola perkembangan serta tempo dan iramanya. Implimintasi terhadap pendidikan adalah bagaimana menyesuaikan proses pendidiakn itu dengan pola dan tempo, serta irama dan perkembangan siswa itu sendiri.
3. Siswa memiliki kebutuhan dan menuntut untuk memenuhi kebutuhan itu semaksimal mungkin.
4. Siswa memiliki perbedaan antara individu – individu dengan individu yang lain, baik perbedaan yang disebabkan faktor endogen ( fitrah) maupun eksogen ( lingkungan) yang meliputi segi jasmani, intelegensi, sosial, bakat, minat dan lingkungan yang mempengaruhinya.
5. Siswa dipandang sebagai kesatuan sistem manusia ( cipta, rasa ,karsa).
6. Siswa merupakan objek pendidikan yang aktif dan kreatif serta produktif.
Bab III
Gambaran Pendidikan Indonesia
A. Dari Sisi Pemerintah
Standar nilai yang selalu mengalami peningkatan merupakan salah satu usaha pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas lulusan sekolah menengah maupun sekolah dasar. Tuntutan untuk memenuhi minimal jumlah maupun rata-rata nilai yang telah ditetapkan Departemen Pendidikan Nasional seharusnya memacu peserta didik untuk bersungguh-sungguh dalam memahami setiap mata pelajaran, sebuah tujuan utama dari diterapkan Sistem Pendidikan. Menyadarkan para siswa akan tanggung jawabnya sebagai peserta didik, yang kemudian justru dianggap sebagai beban berlebih sehingga menaikkan tingkat stress anak.
Kalau pada tahun-tahun sebelumnya jumlah anak yang mengerti akan tanggung jawab terhadap nilainya sendiri jauh lebih kecil daripada anak yang menganggap sekolah hanya sekedar kewajiban pulang dan pergi ke lembaga pendidikan formil sedari jam 7 pagi hingga pukul 2 siang (tanpa jaminan tetap menjejakkan kaki di dalam lingkungan sekolah pada jam-jam diantaranya). Atau pergi ke sekolah hanya untuk memamerkan jam tangan baru atau ringtone lagu-lagu terbaru yang sedang tren di kalangan remaja dengan tujuan menarik perhatian lawan jenisnya. Ya ampuun, pergaulan jaman sekarang..ck..ck..ck..
Tapi, apa iya sistem yang diterapkan itu cukup efektif? padahal ketersediaan sarana dan prasarana setiap sekolah dari ujung Sabang sampai Merauke masih sangat beragam? Mengapa harus menjadi syarat mutlak untuk masuk ke jenjang sekolah berikutnya? Alangkah lebih adil kalau ujian masuk disesuaikan dengan sekolah penerima masing-masing? seperti UMPTN / SPMB barangkali, atau pilihan ujian masuk yang terdiri dari berbagai tahapan untuk menilai semua kompetensi, tergantung orientasi masing-masing sekolah penerima, misalnya sekolah teknik tidak terlalu membutuhkan anak dengan kompetensi seni yang sangat tinggi sedangkan nilai fisikanya hampir mencapai nilai minimal.
B. Sekarang kita lihat dari sisi si Anak
Menjadi beban berlebih mungkin terasa sangat berat bagi kebanyakan anak sekolah yang terbiasa santai menghadapi angka-angka merah di rapotnya. Tetapi tidak jika si Anak sudah dilatih dengan terapi penanggulangan stress berlebih sejak dini. Maaf, saya mengambil contoh saat usia SMU dulu. Pendidikan SMU saya mungkin berbeda dengan kebanyakan sekolah negeri maupun swasta lainnya, kehidupan penuh tekanan. Namun di antara tekanan-tekanan tersebut, ada keinginan untuk meraih hasil terbaik di setiap mata pelajaran, bagi saya sekalipun yang harus mengikuti hampir setiap HER yang diadakan. Awalnya saya berpikir bahwa ini adalah mimpi buruk, berdiri di tengah-tengah para Superior dan harus ikut bersaing mendapatkan posisi terbaik, paling tidak untuk bertahan agar tidak terlalu memalukan.
Suasana belajar yang tidak pernah telat diabsen oleh setan kantuk, serta cara mengajar guru yang berbeda-beda, juga kondisi fisik dan mental yang dipaksa untuk tidak hanya memikirkan masalah nilai dan pelajaran formil, agaknya membentuk kami untuk merasa wajib bertanggung jawab terhadap diri sendiri, bertanggung jawab terhadap masa depan yang ditentukan oleh kami sendiri.
Jangankan Ujian Nasional (dulu disebut EBTANAS), ulangan harian biasa saja harus dipaksa memeras otak sedemikian rupa demi menghindari Remidial atau pengulangan ujian bagi para siswa yang mendapat nilai kurang dari 6,00. Belum lagi pengawas ulangan superketat yang tidak mengizinkan sedikitpun kegiatan contek mencontek dan bekerja sama untuk mata pelajaran yang bersifat individu, apalagi mengingat ancaman terberat jika seorang siswa diketahui sedang mencontek atau melakukan tindakan tidak jujur lainnya, yaitu dikeluarkan dari sekolah.
Bandingkan dengan realitas masa kini yang mana saat Ujian Nasional berlangsung dihadapi dengan santai oleh peserta, cukup menunggu kiriman pesan singkat lima menit menjelang waktu ujian berakhir dan menyalin semua jawaban yang dikirimkan oleh “seorang oknum” dunia pendidikan yang menggadaikan masa depan ratusan peserta ujian demi puluhan juta rupiah tak berharga.
C. Dari Sisi Sekolah, Guru dan Orang Tua
Tak jarang hanya demi menjaga nama baik sekolah, agar terkesan memiliki kualitas pendidikan yang baik, pihak Sekolah melakukan berbagai upaya untuk mempertinggi persentase angka kelulusan. Memberikan les tambahan di luar jam pelajaran standar misalnya, sebuah usaha yang patut diacungi jempol ya kan?
Namun ketika pihak Sekolah telah kehabisan cara untuk mempertahankan kredibilitasnya sebagai sekolah terpandang, bisa jadi bukan hanya memperbolehkan peserta ujian untuk melakukan praktek-prektek ketidakjujuran, tetapi bahkan ikut membuka jalan agar siswa dengan mudah dapat memperoleh jawaban yang “belum tentu benar”, atau menyiapkan segepok lembar seratus ribuan yang diserahkan kepada sang pemberi jawaban.
Mirisnya lagi, sang dewa yang diagung-agungkan untuk memberi bocoran jawaban bukanlah orang yang jauh dari dunia pendidikan, bahkan mungkin personil tangguh dari jajaran tim akademis yang setiap hari selalu mengkoar-koarkan teori relativitas einstein atau struktur kalimat S-P-O-K. Okelah anda pintar, tapi perlukah sebegitu sombongnya dengan membuat anak didik menjadi pemalas?? Kalau saya seorang guru, tentu sangat terhina dengan tindakan pelecehan martabat terhadap profesi Guru, tindakan tadi sama saja mengartikan bahwa saya gagal menularkan ilmu yang saya miliki kepada para penerus kehidupan bangsa ya toh? *kecuali ilmu mencontek*, Naudzubillah..
Saya sering memikirkan mengenai kesadaran seorang Guru tentang esensi yang terkandung dalam profesi Guru yang sesungguhnya, yang maaf, akhir-akhir ini jarang dimiliki oleh beberapa Guru di Sekolah. Apakah iya, bekerja hanya untuk mencari uang? Ibu saya seorang Guru, beliau terkadang marah namun lebih sering bersikap sabar mengajari seorang anak kelas 1 yang sedang mencoba membaca dan menulis. Jangan diremehkan kemampuan mengajar beliau dalam bidang Sains, terbukti dalam beberapa kali penanganan persiapan ujian terhadap siswa kelas VI SD, nilai rata-rata kelasnya melonjak naik melebihi target. Kata Ibu “Seorang Guru itu mempunyai kepuasan tersendiri yang tidak terkira tatkala anak muridnya berhasil dan sukses”, lebih dari sekedar hampir dua juta rupiah yang diterimanya setiap bulan.
Dukungan Orang tua mempunyai peran penting terhadap kondisi psikologis si anak. Tuntutan yang terlalu berlebih kepada sang Anak justru semakin membuatnya merasa tertekan. Saya dulu, tidak pernah dituntut untuk mendapatkan nilai tertinggi atau paling tidak menduduki peringkat tiga besar di sekolah, bahkan ketika saya berada pada posisi ke-17 dari 22 siswa, saya tidak pernah sekalipun dimarah karna angka 9 hampir tidak pernah bertengger dalam Rapor SMU saya, alih-alih angka 6 yang semakin banyak menghiasi setiap mata pelajaran. Namun saya tidak lalu bertahan pada posisi yang sama, perubahan yang berjangka, itu yang saya alami semasa 3 tahun di SMU.
Peran orang tua juga sangat berpengaruh terhadap minat dan bakat Anak. Kalau si anak lebih menyukai Sejarah dan Sosiologi, lalu kenapa harus dipaksa masuk ke kelas IPA? Saya sendiri sangat kagum pada para Sosiolog, SEjarawan, maupun Sastrawan yang benar-benar setia di bidangnya. Profesi yang dikaitkan dengan hobi dan kesukaan tentunya lebih baik ya daripada sekedar tahu namun tidak suka.
Bab IV
Cara Mengatasi Perilaku Menyontek
Meskipun tenaga pengajar harus mengambil tindakan untuk mempertahankan dan mengembangkan pola perilaku dipihak siswa yang mendukung belajar disekolah, namun ia akan tetap dihadapkan pada perilaku yang menghambat dan di fromokasikan dengan siswa yang menganggu dan mengancam.
Pada saat ini, tidak dapat disangkal bahwa guru dikelas kerap ditantang untuk mengatasi tingkah laku sejumlah siswa yang deskruftif, lebih – lebih dikota besar. Gejala umum ini bersumber pada berbagai faktor penyebab,yaitu runtuhnya disiplin hidup bersama dalam masyarakat, menipisnya kesadaran dan tanggung jawab sosial banyak kalangan, suasana sekolah yang kurang memberikan kepuasan pada siswa, rasa ketertiban sebagai tenaga kependidikan dipihak sejulah guru yang mengendor. Guru sebagai orang terdekat dalam pembelajaran disekolah, memiliki tanggung jawab membimbing siswa. Tindakan guru pada umumnya dalam pelaksanaan ujian dan ulangan dengan memberikan penguatan dan peneguhan terhadap sikap dan perilaku mereka yang positif, dimana mereka berusaha sendiri menyelesaikan tugasnya dengan baik dan tertib.
Namun bila tidak ada perilaku positif yang dapat diberikan penguatan dan peneguhan maka dibutuhakan pendekatan lain yaitu:
a. Cuing Promping, yaitu siasat memberikan tanda, guru menyajikan suatu perangsang yang berfungsi sebagai pemberitahuan bahwa siswa diharapkan berbuat sesuatu yang sebenarnya dapat mereka lakukan, tetapi belum dilakukan.
b. Model, yaitu guru memberikan model yang ditiru oleh siswanya.
c. Shaping, yaitu membuat tingkah laku secara berlahan – lahan, yaitu setiap tingkah laku siswa, seperti mengatur buku, menyapa guru atau teman, cara ini memerlukan kesabaran yang sangat dari guru.
Adapun tindakan kuratif guru, berlaku bagi siswa yang sudah terbiasa dengan contek mencontek, dengan memberikan peringatan . bentuk kongkrit dari peringatan dapat bermacam- macam, yaitu :
1. Teguran Verbal, yaitu mendekati siswa tertentu dengan berbicara suara kecil sehingga tidak terdengar oleh teman sekelas.
2. Mengambil suatu hal yang digemari atau disukai siswa, seperti mengikuti kegiatan tertentu atau menyerahkan benda yang dipegangnya.
3. Mengisolasi siswa dari teman – temannya untuk waktu tidak terlalu lama, seperti memindahkannya diruang kosong atau tempat yang jarang dilalui orang.
Jadi dari bentuk tindakan guru yang telah dipaparkan, guru dapat membantu siswanya untuk meninggalkan kebiasaan menyontek dalam ujian atau ulangan dengan berusaha.
a. Membentuk hubungan saling menghargai antara guru –siswa, serta menolong murid bertindak jujur dan tanggung jawab.
b. Membuat dan mendukung peraturan sehubungan dengan menyontek, karena siswa memahami peraturan dari tindakan guru.
c. Mengembangkan kebiasaan dan keterampilan belajar yang baik dan menolong siswa merencanakan, melaksanakan cara belajar siswa.
d. Tidak membiarkan siswa menyontek jika hal tersebut terjadi dalam kelas dengan teguran atau cara lain yang pantas dengan perbuatannya, sebagai penerapan disiplin.
e. Menekankan “ Belajar” lebih sekedar mendapat nilai, yaitu membantu siswa memahami arti belajar sebagai suatu tujuan mereka sekolah, dan nilai akan berarti bila murni dengan kemampuan siswa sendiri.
f. Bertanggung jawab merefleksikan “kebenaran dan kejujuran”, yaitu guru menjadikan diri sebagai teladan siswa dalam menanamkan nilai kebenaran dan kejujuran.
g. Menggunakan test subjektif sebagai dasar proses ulangan dan ujian.
Bab V
Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan , menyikapi fenomena contek mencontek dikalangan para siswa sebenarnya kita bisa saja memutus rantai itu dengan menumbuhkan imej dari remaja tersebut bahwa kita bias solider dalam banyak tetapi dalam ujian tunggu dulu. kita kerja sendiri-sendiri, dengan sikap seperti itu maka diharapkan akan meminimalisasi contek menyontek di kalangan remaja. Tumbuhkan rasa percaya diri dengan merasa puas akan hasil kerja sendiri. Mengubah kebiasaan. Mungkin pada awalnya memang bukan hal gampang, tapi kalau kita memang meniatkan dalam hati, percaya deh, nggak ada satu hal apa pun yang nggak mungkin.


EmoticonEmoticon